Seperti diberitakan sebelumnya, kolektor asal negeri Jiran Malaysia, hingga
saat ini terus mencari tahu keberadaan songket benang emas. Mereka berani
membayar ratusan juta rupiah untuk mendapatkan songket yang sudah langka itu.
Orang-orang dari negara jiran Malaysia paling getol mengincar benda bersejarah
seperti itu. Sebagian bahkan berani membayar ratusan juta rupiah untuk bisa
membawanya pulang.
Dan tentu saja ini bukan satu-satunya barang bersejarah yang
menjadi incaran pihak asing. Seperti Kamis, (13/11) lalu, sekitar 30 orang
rombongan dari Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor (PSMCS) berkunjung
ke Palembang juga mengunjungi Palembang. Kedatangan para sejarawan ini selain
untuk mempelajari hubungan Jambi dan Palembang dengan Selangor, juga
menginginkan salinan atau duplikasi manuskrip sejarah Palembang.
Rombongan yang dipimpin Muhammad Yusuf ini diterima pihak Pemkot Palembang
bersama organisasi Masyarakat Sejarawan Sumsel dan Dewan Pembina Adat Kota
Palembang di Aula Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Palembang sekira pukul
14.00. Pada pertemuan itu, rombongan dari negeri jiran ini menjelaskan maskud
dan tujuan mereka berkunjung ke Bumi Sriwijaya.
M Yusuf mengatakan, ini merupakan lawatan dalam dalam rangka menjajaki hubungan
antara Jambi dan Palembang dengan negeri Selangor. Pihaknya berharap, kunjungan
ini melahirkan hubungan yang semakin baik bagi kedua belah pihak mengingat
Palembang dan Malaysia diyakni serumpun atau sama-sama melayu.
“Kami sangat senang bisa berkunjung ke sini. Semoga lawatan ini akan
meningkatkan hubungan baik di anatar Palembang dan Selangor Malaysia,” ujar M
Yusuf dengan logat khas melayu Malaysia.
M Yusuf cukup banyak bertanya tentang hal-hal yang terkait dengan Kota
Palembang dan sejarahnya. Salah satu yang diungkapkan dalam pertemuan itu
adalah mengenai Bukit Siguntang. Dia mengaku penasaran dengan situs budaya yang
satu ini. “Saya hanya ingin tahu, mengapa dinamakan Bukit Siguntang, padahal
posisinya tidak seperti bukit,” kata Yusuf dengan nada bertanya.
Pertanyaan M Yusuf kemudian dijawab Sekretaris Masyarakat Sejarawan Sumsel, Ari
Panji. Dia menjelaskan, penyebutan “bukit” pada kawasan Siguntang tidak
terlepas dari sejarah di masa lampau. Menurut dia, memang saat ini Bukit
Siguntang tidak terlihat tinggi layaknya bukit. Itu karena, saat ini sudah
terjadi perubahan karena bangunan di Palembang yang semakin berkembang.
Namun, lanjutnya, sebenarnya daerah itu merupakan daratan tertingi di Kota
Palembang. Bahkan pada masa lalu, untuk melihat seluruh daratan Palembang,
orang cukup berdiri di Bukit Siguntang.
“Daratan tertinggi di Palembang ya di sana. Kalau sekarang tidak kelihatan
tinggi, itu karena sudah banyak pembangunan,” jelasnya.
Ada hal menarik daripada sekadar membicarakan Bukit Siguntang.
Pada saat acara berlangsung, diam-diam sejarawan Palembang menggarisbawahi
salah satu item yang tertulis dalam surat kunjungan para sejarawan asal
Selangor, Malaysia ini. Dalam surat tersebut ada semacam permohonan kepada
Pemkot Palembang agar rombongan yang datang diperkenankan mendapatkan naskah,
manuskrip atau buku-buku berkait sejarah Palembang. Bahkan mereka juga minta
agar tuan rumah mengatur pertemuan dengan orang-orang yang memahami tentang
sejarah Palembang.
Meski tak mau berlebihan menaggapi hal ini, Kepala Museum SMB II Palembang, Ali
Hanafiah mengatakan, Pemkot Palembang harus bijak menyikapi permintaan pihak
Malaysia. Sebab dengan berbagai kasus klim yang terjadi selama ini, Palembang
sepatutnya protektif terhadap tujuan meminta manuskrip atau tulisan tentang
sejarah Palembang tersebut.
“Kita sama sekali tidak curiga. Tapi saya rasa kita juga wajib memperjelas
maksud dan tujuan sejarawan ini menginginkan manuskrip sejarah Palembang,”
tandasnya. (asa)
sumber:sripoku.com